Penggalan Jurnal Kehidupan, Kisah, Inspirasi, Informasi, Tips, Opini

Minggu, 14 Juni 2009

Kekuatan Diri


Kita tahu bahwa salah satu contoh untuk melihat kefitrahan manusia dalam perilaku keseharian yang paling mudah adalah pada sosok seorang bayi. Lihatlah, bayi selalu menyenangkan dipandang mata. Tangisannya menjadi hiburan bagi orang-orang dewasa di sekelilingnya. Seorang manusia yang paling kejam dan beringas di muka bumi ini pun akan tertunduk hatinya ketika memandang seorang bayi mungil yang sedang menangis. Bahkan bagi orang tuanya, kotoran yang dikeluarkan sang bayi ketika orang tuanya sedang makan, merupakan saat-saat yang paling lucu untuk kelak diceritakan ketika ia sudah dewasa. Intinya tak ada satupun manusia normal di muka bumi ini yang tak menyukai seorang bayi kecil, baik yang kulitnya putih bersih atau yang hitam legam, baik yang mancung atau yang pesek sekalipun. Karena tidak ada bayi yang jelek, semuanya indah dipandang.

Ya..., itulah gambaran yang paling mudah dan konkrit dari contoh manusia yang berada dalam fitrahnya. Selalu membawa kebahagiaan dimanapun ia berada. Hal demikianpun berlaku bagi manusia yang selalu berada dalam fitrah dirinya. Kemanapun ia melangkah akan selalu membuat orang bahagia, selalu membawa manfaat bagi lingkungannya.

Sosok bayi yang kita anggap lemah dan tidak mampu, sebenarnya mengajarkan banyak hal kepada kita yang sudah dewasa. Yang paling utama adalah pelajaran sebuah ketahanan mental untuk sebuah kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun. Coba kita lihat ketika seorang bayi belajar berdiri. Seringnya ia terjatuh, namun tak menghalangi dirinya untuk berjuang naik untuk berdiri lagi walaupun kepalanya sudah benjol-benjol karena terhantam oleh bidang yang keras ketika ia berusaha untuk berdiri.

Pada hakekatnya kita dapat mengambil makna dari momen belajar berdirinya bayi. Ia berusaha untuk menjadikan kepalanya sebagai tempat yang tertinggi dan meninggalkan posisi merangkaknya. Ia berusaha dengan kuat untuk berdiri bukan sebatas menjalankan tugasnya saja, namun untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang seutuhnya, manusia yang berfikir, dan manusia yang berusaha. Sungguh sangat ironis bila kita yang kini telah menjadi manusia seutuhnya yang berjalan dengan kepala di atas tapi tetap saja menggunakan cara berfikir yang rendah, cara berfikir mencakar, mencabik, menjilat dan berdesis bagaikan ular untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan. Hal-hal yang hanya akan memenuhi dahaga sebentar saja untuk kemudian menjadi lebih dahaga lagi dan lagi, bagai orang yang kehausan karena meminum air laut.

Kita memang harus belajar tentang kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun dari seorang bayi. Karena dialah yang paling dekat dengan kefitrahan diri manusia. Diri yang tak pernah sakit oleh perkataan siapapun dan apapun, diri yang tak memiliki dendam dengan apapun dan siapapun. Walaupun sedetik yang lalu kita baru saja memarahinya namun ia tetap memberikan senyumannya kepada kita. Diri yang tak memiliki pretense keinginan apapun akan kehidupan. Diri yang tak berfikir tentang bagaimana orang memperlakukan dirinya akan tetapi apa yang dapat ia berikan pada semua orang. Diri yang melihat setetes kebaikan dari samudra keburukan orang lain dan mengembangkan kebaikan itu, sehingga keburukan yang dimiliki orang lain tak dilihatnya lagi.

Hanya manusia yang memiliki kemampuan kekuatan diri berjalan di muka bumi ini tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun yang akan berada di atas manusia-manusia lain. Melihat segala peristiwa dan kejadian di dalam hidupnya dari tempat tertinggi. Karena dari tempat tersebut ia akan dapat membedakan mana realita yang sesunguhnya dan mana yang hanya sekedar fenomena kehidupan. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang dikatakan sebagai manusia yang arif dan setiap perilaku dirinya adalah perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan hukum dan aturan yang telah Tuhan tentukan, perilaku yang sesuai dan selaras dengan fitrah manusia.

Dragonadopters


Share:

Rabu, 10 Juni 2009

Ingin Ganti Warna


Gara-gara posting artikel kemarin (Warna Kebahagiaan 'Sejati'), saya jadi teringat tentang warna. Dan bicara soal warna tentu kita membayangkan apa? Ya..., apalagi jika bukan soal cat, ya kan? Dan bicara soal cat, hm... jadi ingin ganti warna, bukan warna kulit, tapi warna ruang tidur. Berharap suasana baru dan yang terpenting tentunya agar tidak mimpi buruk melulu, ...hahaha.

Hanya saja kemudian timbul masalah lain seperti lazimnya setiap kita ingin mengecat. Bukan soal budget, karena yang akan dibedaki kan cuma ruang tidur saja (exterior, ruang tamu, ruang makan, dan dapur masih kinclong), jadi tidak seberapa menguras pendapatan bulan ini. Lantas masalahnya apa?

Pilihan warna. Ya..., itulah masalahnya. Sederhana memang, namun bingung juga menentukan pilihan bila sudah dihadapkan pada banyak pilihan (kayak milih Partai Pemilu saja... hahaha).

Dari itu untuk update artikel blog kali ini saya perkenalkan kandidat kuat yang bakal saya pilih,

Merah
Dianggap mampu membangkitkan hasrat dan kegairahan.

Oranye
Dianggap mampu menimbulkan aura ceria, jauh dari kesan feminin.

Kuning
Dianggap mampu meningkatkan daya kreatifitas dan imajinasi.

Hijau
Dianggap mampu menimbulkan aura menenangkan, sejuk dan nyaman.

Biru
Dianggap mampu menciptakan kenikmatan tidur, mampu menghilangkan kepenatan, dan mampu mengantar ke alam mimpi.

Ungu
Dianggap mampu membangkitkan asosiasi warna yang mewah, agung, dan karismatik.

Karena ruang tidur juga merefleksikan kepribadian seseorang, namun tidak menutup kemungkinan suasana hati yang dominan pada saat memilih pun turut andil dalam menentukan pilihan. By the way, apa sih warna favorit Anda?


Image Hosted by ImageShack.us

Dragonadopters


Share:

Minggu, 07 Juni 2009

Warna Kebahagiaan 'Sejati'


Banyak orang yang merasa dirinya kurang beruntung karena tidak merasakan kebahagiaan menurut versinya. Namun tidak sedikit pula yang merasa beruntung dan telah merasa cukup bahagia menurut versi yang lain. Mungkinkah kebahagiaan bisa berbeda versi antara satu dengan yang lain? Dan pada kenyataannya kebahagiaan pun tidak selamanya menetap, kadang kemarin bahagia namun keesokan harinya hilang tak berbekas. Raib entah ke mana...

Ada seorang pria kaya raya dengan segala harta benda, uang, perhiasan melimpah, perusahaan di mana-mana, istri yang cantik, anak-anak yang semua sudah beranjak dewasa dan kehidupan duniawi yang menyenangkan hati ada dalam genggamannya. Namun di hari tuanya sang pria kaya raya ini mengaku tidak bahagia. Ia merasa kematian kian hari kian dekat bersamaan dengan perjalanan waktu yang seolah berputar cepat. Ia takut ketika datang ajal nanti, ia akan menghadapi dan merasakan dirinya sendirian.

Ada pula seorang pria biasa-biasa saja, tidak kaya, istri pun tidak cantik namun setia dan begitu mengerti dirinya. Pria itu sama sekali belum ada gambaran anak-anaknya mau jadi apa kelak. Tabungan tak punya, uang tak pernah bertahan lebih dari sehari, harta duniawi apa pun tak ia miliki karena penghasilan sehari hanya cukup untuk untuk hari itu juga, sangat pas-pasan. Apakah pria itu dan keluarganya bahagia? Memang pria itu tidak kaya, di tengah hidup yang serba pas-pasan. Tapi anehnya pria itu mengaku cukup bahagia, mengapa? Ah..., ternyata letak kebahagiaan sederhana baginya, cukup karena istrinya sangat pengertian dan ya..., hidup ini sudah ada yang mengatur, jadi tinggal jalani saja.

Melihat kenyataan itu, kita tentu paham bila hidup di tengah-tengah harta melimpah pun ternyata belum menjamin seseorang meraih kebahagiaan, karena kebahagiaan bersifat sangat personal, dan tidak selalu melekat pada diri seseorang, dan juga bisa bersifat temporer. Pada kurun waktu tertentu orang bisa merasakan kebahagiaan, namun sejurus kemudian kebahagiaan itu menguap entah ke mana.

Mungkinkah dengan bergelimang harta benda dan kesenangan-kesenangan duniawi kebahagiaan sejati dapat diraih? Bila kebahagiaan sesaat tentu iya, karena kebahagiaan jenis itu berwarna-warni. Namun tidak bila kebahagiaan sejati, karena kebahagiaan sejati hanya mengenal satu warna saja, yaitu putih. Bagaimana menurut Anda?


Image Hosted by ImageShack.us

Dragonadopters


Share:

Jumat, 05 Juni 2009

Jangan Pernah Melupakan Rumah Hatimu


Mengapa cinta, kasih sayang, dan kesetiaan sulit dipahami secara utuh dan dewasa? Makna cinta, kasih sayang, dan kesetiaan yang laksana simfoni harmonis nan indah, kerap diseret ke dalam pemahaman yang sempit gelap demi kepentingan pribadi.

Dalam dunia sosial politik, kekuasaan dengan para aktornya kerap menyeret cinta, kasih sayang, dan kesetiaan yang suci tulus ke dunia yang sempit dangkal. Maka lahirlah kaum penjilat dan loyalis semu. Kelompok ini ada dan hidup di mana-mana, ia tetap eksis di sekitar kita hingga detik ini.

Seorang ibu yang sekedar mengeluhkan pelayanan di sebuah Rumah Sakit kepada temannya dipenjarakan. Suara keluhan yang semestinya didengar dan ditanggapi positif sebagai bentuk keterlibatan konsumen dalam setiap fase proses bisnis. Sebuah dinamika bagi bertumbuh kembangnya sikap rendah hati yang seharusnya ada di sana. Andai kemauan untuk tetap menjunjung kearifan tua “konsumen adalah raja” masih ada di sana, mungkin takkan seperti itu jadinya.

Ah…, mungkin negeri ini sejatinya bukan hanya sedang dilanda sakit kemiskinan dan kebodohan kronis, tapi juga sedang mengidap sakit pengkhianatan cinta, kasih sayang, dan kesetiaan terhadap hidup harmonis dan welas asih.


Hiduplah tanpa melupakan rumah hatimu meski sesaat. Dan jangan pernah tinggalkan rumah itu, karena dari rumah itulah kita mengenal indahnya kasih sayang, tulus cinta dan kesetiaan, serta keyakinan akan nilai-nilai kebaikan.


Dragonadopters


Share:

Kamis, 04 Juni 2009

Enggan Menjadi Terlalu Pintar?


Mungkin Anda merasa aneh bila membaca judul posting diatas. Namun sebenarnya bukan tidak ada orang yang berprinsip demikian, dan pada kenyataan prinsip itu saya temukan pada salah satu rekan sejawat saya. Menyedihkan? Ataukah memang wajar adanya?

Mungkin motifnya yang saya ketahui bahwa terkadang rekan saya itu takut bila semakin pintar ia, maka semakin sibuk ia dengan pekerjaan yang akan dilimpahkan kepadanya, belum lagi rekan sejawat di Divisi lain yang pasti minta bantuan pula bila mengetahui ia menguasai sesuatu yang kebetulan mentok di Divisi tersebut.

Lantas bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sepaham dengan rekan sejawat saya itu?

Mudah-mudahan tidak, karena biar bagaimanapun justru dengan bertambahnya pengetahuan atau kepiawaian atau sebut saja kepakaran terhadap sesuatu, maka semakin terbuka lebar pintu amal ibadah buat kita masuki. Bukankah dengan kita bekerja selain tentunya untuk mencari nafkah juga selalu diniatkan sebagai ibadah kita? Dan bukankah pula, dengan kita membantu orang lain yang sedang kesulitan dengan suatu masalah (yang kita justru paham benar seluk beluknya) maka kita telah menambah amal kabaikan kita?

Mengenai rekan saya itu, sudah sering saya mengingatkannya akan tetapi susah memang bila segala sesuatu selalu dinilai dengan materi sebagai tolok ukurnya. Tetapi percayalah, Yang Maha Kuasa selalu tahu dengan perbuatan baik apa yang telah kita lakukan dan pastilah akan ada imbalannya, walau mungkin tidak selalu berbentuk materi. Yakinlah...

Image Hosted by ImageShack.us



PS:
Lama tidak update blog, jadi sekalian mau bagi-bagi award yang saya dapat dari sahabat blogger, Seti@wan Dirgant@Ra (terimakasih nih awardnya, jadi tersanjung dapat "Friendly Award Fatamorgana")

Photobucket


Dan saya bagikan juga kepada The Top Three Commenters di blog ini, yaitu : Mas Seno, Mbak Fanny, dan Mbak Fanda (terimakasih untuk atensinya selama ini).


Dan satu lagi hahaha..., award boneka lucu dari Mbak Irma (yang hampir di setiap postingnya selalu dipenuhi dengan kata-kata indah dan dalam, penuh makna).



Dragonadopters


Share: