Penggalan Jurnal Kehidupan, Kisah, Inspirasi, Informasi, Tips, Opini

Rabu, 15 Mei 2013

Menghapus Profil Paradoksal di Negeri Paradoks

Situasi yang serba paradoks... itulah yang kita saksikan dan hadapi sehari-hari di era kita. Terkadang paradoks itu cukup menggelikan. Tetapi mungkin itulah kenyataan yang mesti kita hadapi dan langkahi untuk melangkah maju ke masa depan yang lebih baik.


Jika melihat banyaknya orang dari 'negeri paradoks' yang hobi melancong ke luar negeri, tentu hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah 'negeri paradoks' memang benar-benar sudah tumbuh. Pendapatan per kapita yang telah melampaui US$4.000 per tahun sebagai salah satu tolok ukurnya, meski disertai dengan rasio ketimpangan yang membesar.

Mereka melancong ke mana saja, bahkan terkesan royal. Dan sangat ngeh dengan clue "Kalo pergi ke luar negeri pastikan bawa dua kopor, yang satu biarkan kosong agar bisa diisi belanjaan saat pulang."

Gaya mereka berbelanja yang doyan mulai dari barang branded yang harganya puluhan bahkan ratusan juta sampai barang biasa. Padahal, harga barang-barang yang dibeli di luar negeri umumnya relatif lebih mahal, bahkan jauh lebih mahal, ketimbang harga barang yang umumnya juga tersedia di 'negeri paradoks'. Konyolnya, beberapa barang yang dijual di luar negeri sejatinya adalah buatan 'negeri paradoks', dan terang-terang terpampang label "made in negeri paradoks".

Dan begitu kembali ke 'negeri paradoks' lagi, mulailah muncul bayang-bayang ketidakmakmuran berupa infrastruktur yang jauh tertinggal, bandara yang temaram, kadang harus antre mendarat dan mati listrik, jalanan yang sempit dan teramat macet, stasiun kereta yang ketinggalan jaman, serta banyak lagi.

Maka wajarlah bila kerap kita menggerutu dalam hati bila menyaksikan para big spender dari 'negeri paradoks': kok pemerintah 'negeri paradoks' gak bisa menghapuskan subsidi bahan bakar minyak buat mereka? Karena mereka (para pembelanja royal di luar negeri) itu masih menghisap subsidi bahan bakar dari pemerintah, melalui berbagai moda transportasi yang mereka gunakan, baik kendaraan pribadi, taksi dan angkutan lainnya.

Diakui atau tidak, sejumlah perusahaan operator taksi di Jakarta saja, yang jumlah armadanya mencapai puluhan bahkan ratusan ribu mobil, masih menerima subsidi. Armada taksi mereka masih memakai bensin yang disubsidi pemerintah. Malah banyak taksi mobil sedan premium yang seharusnya menggunakan bahan bakar beroktan tertinggi yang tidak bersubsidi, sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar cocok meminum bensin bersubsidi.

Lihatlah mobil-mobil operasional yang banyak dipakai perusahaan-perusahaan dan konglomerasi, serta bank-bank di Jakarta, yang jumlahnya juga tak kalah banyak. Bahkan mendominasi gedung parkir, di mana perusahaan itu berkantor. Ya, kebanyakan mobil-mobil mereka juga peminum bahan bakar bersubsidi, padahal laba bersih perusahaan-perusahaan itu mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Itu contoh di skala korporasi. Belum lagi di skala individu yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Tengok saja penjualan mobil baru, yang melampaui 1 juta unit setiap tahun, dan mereka kebanyakan peminum bahan bakar bersubsidi.

Ok, barangkali kita sudah gak heran dengan cerita itu, kan orang kita dikenal paling banyak akal dan paling pintar ngoprek, dan malah gak jarang pakai akal bulus.

Ya inilah 'negeri paradoks', dimana sebenarnya banyak uang, negara juga punya banyak uang, tetapi dikorupsi dan dihambur-hamburkan untuk subsidi bahan bakar karena gaya hidup yang telah terbiasa boros: Tidak hanya doyan belanja, tetapi juga boros energi. Apalagi bahan bakar bersubsidi yang murah telah melestarikan gaya hidup boros energi.

Padahal jika saja mau sedikit lebih berhemat, subsidi yang dihambur-hamburkan setiap tahun bisa banget tuh digunakan untuk membiayai infrastruktur. Kalau bandara 'negeri paradoks' bagus, jalan raya lebar dan mulus, jembatan kokoh dan jalur kereta terhubung ke pelosok negeri, tentu kesan negeri yang kurang makmur akan terpatahkan, sekaligus menghapus profil paradoksal tadi. Apalagi orang-orang 'negeri paradoks' hobi pula melancong ke luar negeri.

Atau jangan-jangan..., mereka melancong ke luar negeri karena banyak tujuan pelancongan di dalam negeri tidak dirawat dan miskin akses yang memadai?

Share:

0 komentar:

Posting Komentar