Penggalan Jurnal Kehidupan, Kisah, Inspirasi, Informasi, Tips, Opini

Jumat, 31 Mei 2013

Simplicity Itu Bukan Hal Sepele Bro...

Berawal dari kritikan seorang teman kerja kepada teman kerja gue yang lain untuk membuat simple sebuah project yang tengah dikerjakan, maka gue tergelitik untuk menulis posting ini. Karena betapa tidak, hanya dari kata simple tersebut akhirnya merembet ke perdebatan yang tidak sederhana lagi. Dan setelah project selesai ungkapan “bikin simple saja...” tersebut seolah menjadi bahan joke di tempat kerja yang melahirkan julukan baru “Simple Man” yang merujuk kepada teman gue tersebut.

Beberapa pakar marketing mengatakan bahwa seringkali bisnis hebat justru lahir dari produk yang sepele dan sederhana, yang kemudian dibungkus dengan berbagai macam dramatisasi dan berbagai trik marketing lainnya.

Lihatlah Starbucks yang sebenarnya hanyalah jualan kopi. Fedex, DHL, JNE dan TIKI yang hanyalah mengantarkan barang sampai tujuan. Lihat pula Teh Botol yang hanya menjual produk teh di dalam botol, atau bahkan Aqua yang hanya air putih dalam kemasan botol plastik.

Yup, begitu banyak orang yang terjebak pada pemikiran bahwa simple itu gampang. Padahal untuk menghasilkan bisnis hebat yang awalnya terlihat sepele, justru di belakangnya tersimpan kerumitan yang mungkin tak terbayangkan sebelumnya. Aktivitas yang mendukung bisnis yang terlihat simple itu justru jauh lebih rumit daripada produk yang dijual. Dan banyak praktisi marketing sudah mengalami sendiri bagaimana repotnya mengurus aktivitas di belakang layar tersebut.

Lihatlah wajah manusia yang cantik, tampan, manis, cute, babyface atau apapun, sebenarnya adalah bungkus atau chasing yang menutupi tengkorak, dan didalam tengkorak ada otak, ada syaraf, otot dan sebagainya yang bekerja terus menerus dan sangat sangat rumit dan kompleks, namun kerumitan kompleksitas ini menawarkan hasil yang sempurna dipermukaan. Manusia bisa dengan sangat mudah berekspresi apapun, seperti tersenyum, mengerlingkan mata, menggerakan mulut, yang mana semua itu dapat dinikmati dengan melihat chasingnya saja tanpa harus melihat kompleksitas bagaimana semua elemen itu bekerja dan saling bereaksi bukan?

Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa kesederhanaan atau simplicity, itu tidak serta-merta identik dengan keremehan. Upaya menyederhanakan sama sekali bukan hal yang sepele. Dalam kenyataannya pun setiap hari kita berusaha menyederhanakan berbagai hal. Sebab simplicity yang benar adalah simplicity yang enscapsulating complexity, maka kemudahan harus menjadi interface yang menyembunyikan kompleksitas atau kemudahan harus menjadi bungkus dari sebuah kerumitan.

Jadi jelas ‘menyederhanakan’ itu tidak sama dengan ‘menyepelekan’. Menyepelekan itu dekatnya dengan sikap sombong, awalnya menyepelekan, kemudian diikuti dengan kesombongan bahwa “yang lain itu keciiilll”, “saya pasti benar”, “saya yang paling…”, “saya...” dan “saya...”, egoisme akut yang berujung pada keangkuhan, kesombongan, alias takabur.

Berapa banyak sudah yang gagal dan terjerumus hanya karena ‘menyepelekan’. Kasus tuntutan terhadap Mcdonalds yang seolah ‘menyepelekan’ teh panas yang dijualnya tanpa karton tambahan yang melindungi customer dari panas akhirnya berbuah tuntutan terhadap bisnis McDonalds, beberapa raksasa bisnis yang menyepelekan kompetitor kecilnya dan tiba-tiba begitu terkejutnya melihat sedemikian kuat kompetitor tersebut mengepung core market mereka, atau kurang bagaimana saleh dan taatnya iblis di mata Tuhan, ratusan ribu tahun bersujud, tapi hanya karena ‘menyepelekan’ yang melahirkan sikap sombong, akhirnya terkutuk.

Kembali ke ‘Simple Man’, tentu yang dimaksud teman gue tersebut adalah menyederhanakan project yang tengah digarap agar hasilnya bisa user friendly, hanya saja tentu tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Seperti yang dikatakan Leonardo da Vinci, “Simplicity is the ultimate sophistication”.


Share:

Rabu, 15 Mei 2013

Menebar Cerita Luar Biasa Lewat Wewangian

Wangi tubuh merupakan suatu daya pikat tersendiri yang dapat menarik lawan jenis atau laksana dejavu yang mampu menimbulkan kembali memori masa lalu dari sebuah plot kenangan tertentu.



Dari sudut estetika wewangian bisa menggambarkan keindahan, dan secara kejiwaan unsur ini menimbulkan perasaan sempurna pada wanita. Namun yang pasti, wewangian memang mampu memuaskan indera penciuman.

Riwayat parfum berkaitan erat dengan sejarah umat manusia. Kata "perfume" sendiri berasal dari bahasa Latin "per fumum" yang berarti melalui asap. Sejak zaman prasejarah, manusia telah menambah kelezatan pada makanannya dengan membakar minyak dan kayu beraroma.

Kisah kecantikan seorang Ratu Mesir bernama Cleopatra hingga Julius Caesar pun bertekuk lutut dihadapannya. Dan karena kecantikan sejalan dengan wewangian, maka seperti apakah harum parfum seorang Cleopatra yang sangat mempesona itu? Parfum tersebut diperkirakan dibuat dari bahan kemenyan yang diimpor dari wilayah yang kini disebut Somalia. Saat itu kemenyan sangat bernilai dan hanya dipakai di lokasi pemujaan dan lingkungan kerajaan. Orang-orang Mesir kuno di zaman itu menghormati para dewanya dengan kemenyan, salep dan minyak wewangian. Semua menjadi bagian penting kegiatan keagamaan dan keindahan wanita dan pria.

Bagaimana dengan parfum tradisional Indonesia tempo doeloe? Tentunya masyarakat Indonesia sudah gak asing lagi dengan wewangian floral dari melati, mawar, cengkeh, pandan, cendana, hingga gula aren bukan?

Anda ingat cerita seorang pemuda miskin dalam film Perancis berjudul "Parfume"? Jean-Baptiste Grenouille yang bekerja di penyamakan kulit, terpaksa harus disandera rasa penasaran yang luar biasa ketika mencium parfum di tengah perjalanannya ke kota. Grenoulle sibuk menggali memori di balik tebaran wewangian dari sekitarnya. Hingga ia menguasai dunia dengan sebotol kecil parfum yang dikantonginya. Hanya sebotol kecil, tidak sampai setengah liter. Hanya dengan itu saja, orang-orang akan memujanya dimanapun dia berada.

Lain lagi kisah Abu Ahmed, pemilik toko Stay Stylish, begitu cerdik memasukkan sebuah cerita ke dalam botol parfum. Di antara sekian produksi parfum yang ia hasilkan, mungkin M75 adalah salah satu merek parfum yang akan dinobatkan sebagai legenda. Warga Palestina memburunya setiap saat. Parfum ini seolah menjadi penghibur akhir tahun yang sempurna. Membuat seluruh warga Palestina seolah mendengar cerita-cerita kemenangan di balik wewangian M75.

Maka parfum tidak lagi berfungsi sebagai wewangian saja, namun juga tukang cerita, jembatan antara manusia dan cerita di balik moment-moment spesialnya. Dan ketika parfum telah berubah fungsi menjadi tukang cerita, maka bersiaplah mengenang segala yang manis dari setiap wewangian yang Anda cium.

Jika Cleopatra membuat Julius Caesar bertekuk lutut dihadapannya, Grenouille menguasai dunia dengan sebotol kecil parfum, M75 memperdengarkan cerita-cerita kemenangan warga Palestina, dan kearifan budaya tradisional kita dengan wewangian floral yang khas, lalu apa cerita dari parfum Anda?

Yang pasti apa pun ceritanya, terimakasih untuk Anda yang menebar parfum hari ini. Anda, begitu pula Cleopatra, dan yang lainnya, telah menebar banyak cerita yang luar biasa.

Share:

Menghapus Profil Paradoksal di Negeri Paradoks

Situasi yang serba paradoks... itulah yang kita saksikan dan hadapi sehari-hari di era kita. Terkadang paradoks itu cukup menggelikan. Tetapi mungkin itulah kenyataan yang mesti kita hadapi dan langkahi untuk melangkah maju ke masa depan yang lebih baik.


Jika melihat banyaknya orang dari 'negeri paradoks' yang hobi melancong ke luar negeri, tentu hal ini mengindikasikan bahwa kelas menengah 'negeri paradoks' memang benar-benar sudah tumbuh. Pendapatan per kapita yang telah melampaui US$4.000 per tahun sebagai salah satu tolok ukurnya, meski disertai dengan rasio ketimpangan yang membesar.

Mereka melancong ke mana saja, bahkan terkesan royal. Dan sangat ngeh dengan clue "Kalo pergi ke luar negeri pastikan bawa dua kopor, yang satu biarkan kosong agar bisa diisi belanjaan saat pulang."

Gaya mereka berbelanja yang doyan mulai dari barang branded yang harganya puluhan bahkan ratusan juta sampai barang biasa. Padahal, harga barang-barang yang dibeli di luar negeri umumnya relatif lebih mahal, bahkan jauh lebih mahal, ketimbang harga barang yang umumnya juga tersedia di 'negeri paradoks'. Konyolnya, beberapa barang yang dijual di luar negeri sejatinya adalah buatan 'negeri paradoks', dan terang-terang terpampang label "made in negeri paradoks".

Dan begitu kembali ke 'negeri paradoks' lagi, mulailah muncul bayang-bayang ketidakmakmuran berupa infrastruktur yang jauh tertinggal, bandara yang temaram, kadang harus antre mendarat dan mati listrik, jalanan yang sempit dan teramat macet, stasiun kereta yang ketinggalan jaman, serta banyak lagi.

Maka wajarlah bila kerap kita menggerutu dalam hati bila menyaksikan para big spender dari 'negeri paradoks': kok pemerintah 'negeri paradoks' gak bisa menghapuskan subsidi bahan bakar minyak buat mereka? Karena mereka (para pembelanja royal di luar negeri) itu masih menghisap subsidi bahan bakar dari pemerintah, melalui berbagai moda transportasi yang mereka gunakan, baik kendaraan pribadi, taksi dan angkutan lainnya.

Diakui atau tidak, sejumlah perusahaan operator taksi di Jakarta saja, yang jumlah armadanya mencapai puluhan bahkan ratusan ribu mobil, masih menerima subsidi. Armada taksi mereka masih memakai bensin yang disubsidi pemerintah. Malah banyak taksi mobil sedan premium yang seharusnya menggunakan bahan bakar beroktan tertinggi yang tidak bersubsidi, sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar cocok meminum bensin bersubsidi.

Lihatlah mobil-mobil operasional yang banyak dipakai perusahaan-perusahaan dan konglomerasi, serta bank-bank di Jakarta, yang jumlahnya juga tak kalah banyak. Bahkan mendominasi gedung parkir, di mana perusahaan itu berkantor. Ya, kebanyakan mobil-mobil mereka juga peminum bahan bakar bersubsidi, padahal laba bersih perusahaan-perusahaan itu mencapai triliunan rupiah setiap tahun.

Itu contoh di skala korporasi. Belum lagi di skala individu yang jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Tengok saja penjualan mobil baru, yang melampaui 1 juta unit setiap tahun, dan mereka kebanyakan peminum bahan bakar bersubsidi.

Ok, barangkali kita sudah gak heran dengan cerita itu, kan orang kita dikenal paling banyak akal dan paling pintar ngoprek, dan malah gak jarang pakai akal bulus.

Ya inilah 'negeri paradoks', dimana sebenarnya banyak uang, negara juga punya banyak uang, tetapi dikorupsi dan dihambur-hamburkan untuk subsidi bahan bakar karena gaya hidup yang telah terbiasa boros: Tidak hanya doyan belanja, tetapi juga boros energi. Apalagi bahan bakar bersubsidi yang murah telah melestarikan gaya hidup boros energi.

Padahal jika saja mau sedikit lebih berhemat, subsidi yang dihambur-hamburkan setiap tahun bisa banget tuh digunakan untuk membiayai infrastruktur. Kalau bandara 'negeri paradoks' bagus, jalan raya lebar dan mulus, jembatan kokoh dan jalur kereta terhubung ke pelosok negeri, tentu kesan negeri yang kurang makmur akan terpatahkan, sekaligus menghapus profil paradoksal tadi. Apalagi orang-orang 'negeri paradoks' hobi pula melancong ke luar negeri.

Atau jangan-jangan..., mereka melancong ke luar negeri karena banyak tujuan pelancongan di dalam negeri tidak dirawat dan miskin akses yang memadai?

Share: