Kita tahu bahwa salah satu contoh untuk melihat kefitrahan manusia dalam perilaku keseharian yang paling mudah adalah pada sosok seorang bayi. Lihatlah, bayi selalu menyenangkan dipandang mata. Tangisannya menjadi hiburan bagi orang-orang dewasa di sekelilingnya. Seorang manusia yang paling kejam dan beringas di muka bumi ini pun akan tertunduk hatinya ketika memandang seorang bayi mungil yang sedang menangis. Bahkan bagi orang tuanya, kotoran yang dikeluarkan sang bayi ketika orang tuanya sedang makan, merupakan saat-saat yang paling lucu untuk kelak diceritakan ketika ia sudah dewasa. Intinya tak ada satupun manusia normal di muka bumi ini yang tak menyukai seorang bayi kecil, baik yang kulitnya putih bersih atau yang hitam legam, baik yang mancung atau yang pesek sekalipun. Karena tidak ada bayi yang jelek, semuanya indah dipandang.
Ya..., itulah gambaran yang paling mudah dan konkrit dari contoh manusia yang berada dalam fitrahnya. Selalu membawa kebahagiaan dimanapun ia berada. Hal demikianpun berlaku bagi manusia yang selalu berada dalam fitrah dirinya. Kemanapun ia melangkah akan selalu membuat orang bahagia, selalu membawa manfaat bagi lingkungannya.
Sosok bayi yang kita anggap lemah dan tidak mampu, sebenarnya mengajarkan banyak hal kepada kita yang sudah dewasa. Yang paling utama adalah pelajaran sebuah ketahanan mental untuk sebuah kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun. Coba kita lihat ketika seorang bayi belajar berdiri. Seringnya ia terjatuh, namun tak menghalangi dirinya untuk berjuang naik untuk berdiri lagi walaupun kepalanya sudah benjol-benjol karena terhantam oleh bidang yang keras ketika ia berusaha untuk berdiri.
Pada hakekatnya kita dapat mengambil makna dari momen belajar berdirinya bayi. Ia berusaha untuk menjadikan kepalanya sebagai tempat yang tertinggi dan meninggalkan posisi merangkaknya. Ia berusaha dengan kuat untuk berdiri bukan sebatas menjalankan tugasnya saja, namun untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang seutuhnya, manusia yang berfikir, dan manusia yang berusaha. Sungguh sangat ironis bila kita yang kini telah menjadi manusia seutuhnya yang berjalan dengan kepala di atas tapi tetap saja menggunakan cara berfikir yang rendah, cara berfikir mencakar, mencabik, menjilat dan berdesis bagaikan ular untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan. Hal-hal yang hanya akan memenuhi dahaga sebentar saja untuk kemudian menjadi lebih dahaga lagi dan lagi, bagai orang yang kehausan karena meminum air laut.
Kita memang harus belajar tentang kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun dari seorang bayi. Karena dialah yang paling dekat dengan kefitrahan diri manusia. Diri yang tak pernah sakit oleh perkataan siapapun dan apapun, diri yang tak memiliki dendam dengan apapun dan siapapun. Walaupun sedetik yang lalu kita baru saja memarahinya namun ia tetap memberikan senyumannya kepada kita. Diri yang tak memiliki pretense keinginan apapun akan kehidupan. Diri yang tak berfikir tentang bagaimana orang memperlakukan dirinya akan tetapi apa yang dapat ia berikan pada semua orang. Diri yang melihat setetes kebaikan dari samudra keburukan orang lain dan mengembangkan kebaikan itu, sehingga keburukan yang dimiliki orang lain tak dilihatnya lagi.
Hanya manusia yang memiliki kemampuan kekuatan diri berjalan di muka bumi ini tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun yang akan berada di atas manusia-manusia lain. Melihat segala peristiwa dan kejadian di dalam hidupnya dari tempat tertinggi. Karena dari tempat tersebut ia akan dapat membedakan mana realita yang sesunguhnya dan mana yang hanya sekedar fenomena kehidupan. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang dikatakan sebagai manusia yang arif dan setiap perilaku dirinya adalah perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan hukum dan aturan yang telah Tuhan tentukan, perilaku yang sesuai dan selaras dengan fitrah manusia.
Ya..., itulah gambaran yang paling mudah dan konkrit dari contoh manusia yang berada dalam fitrahnya. Selalu membawa kebahagiaan dimanapun ia berada. Hal demikianpun berlaku bagi manusia yang selalu berada dalam fitrah dirinya. Kemanapun ia melangkah akan selalu membuat orang bahagia, selalu membawa manfaat bagi lingkungannya.
Sosok bayi yang kita anggap lemah dan tidak mampu, sebenarnya mengajarkan banyak hal kepada kita yang sudah dewasa. Yang paling utama adalah pelajaran sebuah ketahanan mental untuk sebuah kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun. Coba kita lihat ketika seorang bayi belajar berdiri. Seringnya ia terjatuh, namun tak menghalangi dirinya untuk berjuang naik untuk berdiri lagi walaupun kepalanya sudah benjol-benjol karena terhantam oleh bidang yang keras ketika ia berusaha untuk berdiri.
Pada hakekatnya kita dapat mengambil makna dari momen belajar berdirinya bayi. Ia berusaha untuk menjadikan kepalanya sebagai tempat yang tertinggi dan meninggalkan posisi merangkaknya. Ia berusaha dengan kuat untuk berdiri bukan sebatas menjalankan tugasnya saja, namun untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang seutuhnya, manusia yang berfikir, dan manusia yang berusaha. Sungguh sangat ironis bila kita yang kini telah menjadi manusia seutuhnya yang berjalan dengan kepala di atas tapi tetap saja menggunakan cara berfikir yang rendah, cara berfikir mencakar, mencabik, menjilat dan berdesis bagaikan ular untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan. Hal-hal yang hanya akan memenuhi dahaga sebentar saja untuk kemudian menjadi lebih dahaga lagi dan lagi, bagai orang yang kehausan karena meminum air laut.
Kita memang harus belajar tentang kekuatan diri tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun dari seorang bayi. Karena dialah yang paling dekat dengan kefitrahan diri manusia. Diri yang tak pernah sakit oleh perkataan siapapun dan apapun, diri yang tak memiliki dendam dengan apapun dan siapapun. Walaupun sedetik yang lalu kita baru saja memarahinya namun ia tetap memberikan senyumannya kepada kita. Diri yang tak memiliki pretense keinginan apapun akan kehidupan. Diri yang tak berfikir tentang bagaimana orang memperlakukan dirinya akan tetapi apa yang dapat ia berikan pada semua orang. Diri yang melihat setetes kebaikan dari samudra keburukan orang lain dan mengembangkan kebaikan itu, sehingga keburukan yang dimiliki orang lain tak dilihatnya lagi.
Hanya manusia yang memiliki kemampuan kekuatan diri berjalan di muka bumi ini tanpa terpengaruh oleh apapun dan siapapun yang akan berada di atas manusia-manusia lain. Melihat segala peristiwa dan kejadian di dalam hidupnya dari tempat tertinggi. Karena dari tempat tersebut ia akan dapat membedakan mana realita yang sesunguhnya dan mana yang hanya sekedar fenomena kehidupan. Manusia yang seperti ini adalah manusia yang dikatakan sebagai manusia yang arif dan setiap perilaku dirinya adalah perilaku yang baik, perilaku yang sesuai dengan hukum dan aturan yang telah Tuhan tentukan, perilaku yang sesuai dan selaras dengan fitrah manusia.